Rabu, 21 Mei 2008

Teori Dasar Gender

Sebagaimana disinggung di muka, jender sebagai konsep sering disalahfahami. Persepsi masyarakat tentang jender muncul berbeda–beda. Pandangan umum menyatakan bahwa perbedaan sifat, posisi, dan peran antara laki-laki dan perempuan adalah suatu yang niscaya dan tidak perlu dipermasalahkan. Padahal sebagai konsep, jender lahir dari rahim sosial dan budaya yang timpang. Konstruk sosial-budaya inilah yang pada gilirannya membentuk konsep jender menjadi bias. Bagaimana pandangan itu muncul dan faktor apa yang melatarbelakangi konstruk itu? Pada titik ini kajian akan lebih terarah apabila diawali dengan pemahaman terhadap teori-teori dasar tentang jender.
Beberapa teori dasar yang sering digunakan dalam membedah sekaligus membenarkan adanya perbedaan sifat, posisi, dan peran antara laki-laki dan perempuan adalah sebagai berikut.

1. Teori Kodrat Alam (Nature)
Teori kodrat alam memandang bahwa pemilahan peran sosial antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai kejadian yang alamiah. Seperti dikemukakan Kamla Bhasin, ”Selama berabad-abad diyakini bahwa sifat-sifat, peran sosial, dan status yang berbeda dari laki-laki dan perempuan dalam masyarakat ditentukan oleh biologis (yaitu jenis kelamin). Hal itu bersifat alamiah sehingga tidak dapat diubah”.[1] Teori ini mengacu pada kodrat manusia secara alami, kehendak takdir, atau dalam bahasa Islam disebut ”ciptaan Allah”. Teori ini memandang laki-laki terlahir sebagai laki-laki dan perempuan terlahir sebagai perempuan, dalam penampilan fisik, fungsi fisik secara biologis dan peran sosialnya. Karena manusia diciptakan sejak sono-nya berbeda, maka manusia harus menerima. Apabila penampilan fisik, fungsi serta peran masing-masing dipertukarkan maka dianggap ada yang tidak beres pada orang yang bersangkutan. Sanksi sosial akan menuduh laki-laki yang berpenampilan feminin dengan sebutan banci, dan perempuan yang berpenampilan maskulin sebagai tomboy.[2]
Sejak lahir secara biologis antara laki-laki dan perempuan berbeda. Anak laki-laki sejak lahir telah memiliki penis (zakar), dan pada saat tumbuh dewasa ia mulai berkumis, berjenggot, dan memiliki jakun. Sedangkan perempuan memiliki rahim, buah dada, payudara, indung telur sebagai ciri-ciri biologis untuk melaksanakan fungsi 4M yaitu menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui anak. Berdasarkan pandangan teori ini apa yang dimiliki laki-laki tidak dimilki oleh perempuan, demikian pula sebaliknya, sehingga laki-laki dan perempuan saling membutuhkan dan saling melengkapi.[3] Kondisi fisik yang secara kodrati memang berbeda tersebut dianggap berpengaruh pada kondisi psikis masing-masing.
Perempuan yang memiliki kodrat fisik berkaitan dengan fungsi reproduksi (4M) dianggap sangat berkaitan dengan berkembangnya perangai psikologis yang dibutuhkan untuk mengasuh anak yang dilahirkannya, seperti perangai keibuan yang menuntut sikap halus, penyabar, lemah lembut dan kasih sayang. Sedangkan lawan jenisnya yang terlahir sebagai laki-laki secara kodrati mempunyai ciri fisik seperti mampu produksi sperma, dan dipandang merepresentasikan fisik-laki-laki yang kuat dan perkasa.[4] Kondisi fisik yang kuat cenderung agresif dianggap akan berdampak pada perangai psikologis yang lebih tegar, lebih tenang, keras dan bahkan kasar. Kaum laki-laki yang memiliki sosok fisik lebih kuat dikonstruksikan untuk berperan di sektor publik, menghadapi kerasnya kehidupan, sekaligus memberi perlindungan kepada pihak yang lebih lemah, yaitu perempuan.[5] Sementara perempuan dengan kelembutan sifatnya cukup berkecimpung pada urusan domestik dan menjadi pelayan laki-laki.
Teori ini bukan saja membagi manusia secara kategoris per se, tetapi juga menyebabkan pembagian kerja secara seksual antara laki-laki dan perempuan: sektor publik versus domestik. Perempuan dengan perangai yang lembut dan penuh kasih sayang mengharuskannya untuk mengasuh anak dan membereskan semua urusan rumah tangga. Sebaliknya, laki-laki dengan fisik dan perangai kuat lebih layak melakukan kegiatan di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarga dan memberi perlindungan terhadap semua anggota keluarganya. Perbedaan biologis ini, kata Sanderson, merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan dalam membentuk pembagian peran antara kedua jenis kelamin: laki-laki dan perempuan.[6]
Teori kodrat alam sebenarnya lebih berorientasi kapada kondisi masyarakat pra-industri, dimana laki-laki berperan sebagai hunter (pemburu) dan perempuan sebagai gatherer (peramu). Seperti dilukiskan Nasarudin Umar, ”sebagai pemburu, laki-laki lebih banyak berada diluar rumah dan bertanggung jawab untuk menghasilkan makanan kepada keluarga. Peran perempuan lebih terbatas di sekitar rumah dan urusan reproduksi....”.[7] Pada masyarakat tradisional, pembagian peran atau kerja seperti ini telah terbukti mampu menciptakan kelangsungan masyarakat yang stabil. Dengan demikian, pembagian peran laki-laki dan perempuan menurut teori ini mutlak diperlukan demi mencapai keharmonisan keluarga dan masyarakat.
Segregasi sosial yang menjadikan dominasi pekerjaan pada sektor publik oleh kaum laki-laki khususnya untuk pekerjaan berat atau kerja kasar, anehnya, dimaksudkan untuk menjaga tugas mulia kaum perempuan (4M). Kaum laki-laki diharuskan secara sosial bekerja keras untuk mencari dan mencukupi nafkah keluarganya, terdiri atas perempuan dan anak-anak. Hubungan patriarkhi yang membagi peran perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik, secara turun temurun telah diyakini kebenarannya dan diwariskan dari generasi ke generasi. Pewarisan budaya tersebut melalui pembiasaan budaya dan adat istiadat sejak anak dilahirkan. Kemudian secara estafet generasi muda menerimanya tanpa kritik dan keraguan.[8] Pada akhirnya gender yang dikonstruk secara sosial ini menjadi budaya dominan yang diterima oleh antar-generasi sebagai suatu yang niscaya dan semestinya.

2. Teori Kebudayaan (Nurture)
Teori ini disebut teori kebudayaan karena memandang jender sebagai akibat dari konstruksi budaya. Identitas jender dari perempuan dan laki-laki tidak ditentukan oleh kodrat alam, melainkan secara psikologis dan sosial, yang berarti secara historis dan budaya. Teori ini tampaknya sebagai ”bantahan” terhadap teori kodrat alam. Teori nurture tidak setuju bahwa pemilahan dan pembedaan peran sosial laki-laki dan perempuan merupakan kodrat alam. Faktor biologis tidak menyebabkan laki-laki lebih unggul ketimbang perempuan. Pemilahan sekaligus pengunggulan terhadap laki-laki ketimbang perempuan lebih disebabkan karena elaborasi kebudayaan terhadap kondisi biologis jenis kelamin.[9] Dengan demikian pembentukan sifat yang berbeda yang disebut dengan sifat-sifat feminin dan maskulin merupakan hasil dari proses sosial-budaya masyarakat, bahkan lebih khusus dapat dibentuk melalui pendidikan.
Meskipun teori nurture berbeda dengan teori nature, tetapi pandangan terhadap peran sosial laki-laki dan perempuan tetap saja sama. Pemilahan manusia menjadi laki-laki dan perempuan, dan usaha untuk membedakan keduanya dalam posisi dan peranan sosial yang berbeda ini, menurut Budiman, merupakan suatu tindakan yang disengaja. Apa yang disebut sebagai kodrat perempuan adalah hasil buatan, yaitu hasil kombinasi antara tekanan dan paksaan di suatu pihak dengan rangsangan yang tidak wajar sekaligus menyesatkan di pihak lain, khususnya perempuan.[10]
Teori nurture memandang pembagian peran sosial berdasarkan jenis kelamin sebagai menifestasi dari budaya masyarakat setempat. Dimensi lokalitas itu menyebabkan konstruk budaya tertentu tidak bisa berlaku dan dipaksakan secara universal, melainkan tergantung pada kondisi sosial budaya yang melingkupinya. Menurut teori ini, terjadinya keunggulan laki-laki terhadap perempuan karena dikonstruksi oleh budaya yang dipengaruhi oleh peluang laki-laki yang lebih besar untuk berperan aktif di dunia luar.[11] Peluang ini dimungkinkan karena bergesernya orientasi kepemilikan benda yang bersifat komunal menjadi milik pribadi. Semula rumah tangga dan harta milik yang ada di dalamnya menjadi milik dan tanggung jawab bersama. Perempuan memiliki hak dan kontribusi yang sama dalam memenuhi kebutuhan ekonomi kelompok/rumah tangganya. Namun, dengan berkembangnya kepemilikan pribadi, kesetaraan itu kemudian bergeser. Laki-laki memiliki peluang lebih besar untuk menguasai materi atau harta milik pribadi, karena laki-laki tidak disibukkan oleh tanggung jawab mengandung, melahirkan, menyusui bahkan mengasuh anak, sehingga laki-laki lebih leluasa bekerja keras untuk meraih dan mengumpulkan uang. Kepemilikan pribadi atas harta milik yang merupakan aset ekonomi itu memungkinkan laki-laki memiliki kontrol terhadap seluruh lingkungan kehidupan sosial budaya yang lain, termasuk kehidupan rumah tangganya. Kondisi ini pada gilirannya laki-laki bukan saja menggenggam harta, tetapi juga memperoleh kekuasaan yang lebih tinggi daripada perempuan.[12] Dalam perspektif teori ini, materi atau harta kekayaan turut menentukan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Misalnya raja-raja atau kaum bangsawan pada jaman dahulu dapat menguasai dan mendominasi perempuan bahkan lebih dari satu orang perempuan (istri). Perempuan yang tidak memiliki kontrol terhadap kepemilikan harta, dengan demikian, akan menurut dan sangat tergantung pada laki-laki.
Secara empirik diketahui laki-laki sering mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk memperebutkan dan mendapatkan kekayaan dan perempuan, seperti berkelahi, berperang, merampok, mencuri, membajak, korupsi dan sebagainya. Dari kondisi seperti ini, lahir peran sosial berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang memiliki akses yang lebih besar terhadap sektor produktif kemudian dikonstruksikan untuk berperan sosial di sektor publik, sedangkan perempuan yang mempunyai tugas 4M dikonstruksikan untuk berperan pada sektor domestik yaitu mengurusi rumah tangga, anak dan melayani laki-laki atau suami.[13]
Teori kebudayaan yang memandang jender sebagai hasil dari proses budaya masyarakat yang membedakan peran sosial laki-laki dan perempuan sangat banyak pengikutnya. Semua pejuang kesetaraan jender berpandangan bahwa jender bukan kodrati tetapi jender adalah hasil dari proses budaya yang diwariskan secara turun temurun. Implikasinya gender atau pemilahan peran sosial berdasarkan jenis kelamin dapat dipertukarkan, dapat dibentuk dan dapat dilatihkan. Melalui pandangan ini, munculnya ketidaksetaraan dan ketidakadilan jender menjadi isu krusial dan mendapat perhatian yang besar.

3. Teori Psikoanalisis
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh seorang ahli psikoanalisa kenamaan, Sigmund Freud. Teori ini berpangkal dari pernyataan Freud tentang penis evny, yaitu perasaan iri terhadap alat kelamin laki-laki. Maksudnya, pada saat anak perempuan pertama kali melihat alat kelamin laki-laki, ia segera menjadi sadar bahwa dirinya memiliki kekurangan sesuatu, atau tidak selengkap yang dimiliki anak laki-laki. Anak perempuan ketika melihat alat kelamin laki-laki memandang sebagai sesuatu yang sempurna dan dapat dibanggakan. Dia menyadari bahwa yang dimilikinya tidak bisa dibanggakan sehingga memunculkan sifat kurang percaya diri, karena tidak memilki kebanggaan seperti yang dimiliki oleh laki-laki. Mulai saat itu pada diri anak perempuan berkembang perasaan rendah diri, malu-malu atau kurang percaya diri karena merasa ada yang kurang pada dirinya, terutama pada saat berhadapan dengan laki-laki. Dari sini muncul kesadaran akan sifat-sifat feminin dan maskulin.
Selanjutnya berdasarkan teori ini, ketika anak perempuan menjadi dewasa, keinginan untuk memiliki kelamin laki-laki berubah menjadi keinginan untuk memiliki bayi. Jika laki-laki berkembang menjadi senang kepada perempuan, pada perempuan berkembang menjadi senang kepada bayi. Berkembangnya rasa kasih sayang yang besar kepada bayi dan anak-anak adalah sebagai kelanjutan dari perasaan adanya kekurangan pada diri perempuan, atau sebagai pengganti dan penghibur kekurangan itu. Kebahagiaan seorang perempuan akan semakin besar jika keinginan memiliki bayi terkabulkan, apalagi bayi yang dilahirkan berjenis kelamin laki-laki. Bayi laki-laki, bagi perempuan, merepresentasikan kelamin yang diidam-idamkannya.[14]
Berdasarkan teori ini, laki-laki dan perempuan secara psikologis memang berbeda. Teori Freud memandang perbedaan jenis kelamin sebagai awal dari perbedaan perkembangan psikologis antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya perbedaan perkembangan psikologis itulah yang menentukan perbedaan perkembangan perilaku masing-masing. Dari perkembangan perilaku kemudian berkembang kepada pemilihan peran sosial yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan teori ini pemilahan peran publik untuk laki-laki dan peran domestik bagi perempuan merupakan pilihan masing-masing dalam mengekspresikan dirinya.
Perbedaan sifat dari kompleks oedipus dan kompleks kastarsi inilah yang menjadi dasar berbagai perbedaan psikologis dari kedua jenis kelamin. Perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan dalam perkembangannya menghasilkan dinamika kepribadian yang berbeda pula. Sifat feminim dan maskulin menggambarkan sifat-sifat kepribadian yang secara psikologis memang berbeda.”Sejak anak usia 3-6 tahun perkembangan kepribadian anak laki-laki dan perempuan mulai berbeda. Perbedaan ini melahirkan perbedaan formasi sosial berdasarkan identitas jender, yakni bersifat laki-laki dan perempuan”.[15]
Asumsi dasar teori psikoanalisis ini banyak dikritik. Bahkan banyak kalangan yang menganggap bahwa teori Sigmund Freud ini sangat aneh dan tidak lazim. Pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan ”keirihatian” tidak nyata secara sosial dan dianggap mengada-ada. Kalau perempuan iri terhadap kelamin laki-laki, mengapa laki-laki juga tidak iri terhadap kelamin perempuan yang juga berbeda dengan mereka?

4. Teori Fungsionalisme Struktural
Teori ini memang tidak secara langsung menyinggung pemilahan peran laki-laki dan perempuan. Teori ini hanya menyoroti bagaimana terjadinya masalah jender itu muncul, dan mengarah kepada bagaimana jender dipermasalahkan. Teori ini memandang bahwa ”masyarakat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan. Masing-masing bagian secara terus menerus mencari keseimbangan dan harmoni. Apabila terjadi kesalahan fungsi dari salah satu bagian struktur, sistem itu akan melahirkan gejolak”. Dalam kaitan dengan masalah kesetaraan jender yang sedang disuarakan dapat diartikan bahwa dalam struktur masyarakat telah terjadi suatu kesalahan fungsi atau penyimpangan struktur kehidupan masyarakat, sehingga terjadi gejolak. Gejolak itu adalah suatu gejala adanya kesalahan fungsi dan atau struktur kehidupan, dan gejolak itu sendiri merupakan cara untuk mencapai keseimbangan (equilibrium) dan harmoni.[16]
Teori fungsionalisme struktural memandang bahwa laki-laki dan perempuan sebagai bagian dari struktur nilai dalam kehidupan di masyarakat. Masyarakat merupakan suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling terkait, masing-masing bagian akan terus menerus mencari keseimbangan dan harmoni. Munculnya gejolak merupakan indikator adanya kesalahan fungsi dari salah satu bagian struktur nilai di masyarakat. Selama tidak ada gejolak dalam masyarakat, berarti pemilahan peran sosial menurut jenis kelamin perlu dipertahankan. Kondisi ini merupakan pengaturan yang paling baik dan berguna bagi harmoni dan keuntungan masyarakat secara keseluruhan. Jadi, menurut teori ini, pembagian peran laki-laki dan perempuan mutlak diperlukan untuk menjaga harmoni dari keseluruhan sistem.[17]
Perspektif teori ini memandang harmoni dan integrasi sebagai fungsional, bernilai tinggi, dan harus ditegakkan, sedangkan konflik mesti ditinggalkan. Artinya, status quo harus dipertahankan. Semampang peran laki-laki dan perempuan dalam kondisi integratif dan harmoni, keadaan itu mesti dipertahankan. Apabila terjadi gejolak atau pertentangan dalam memandang pemilahan peran sosial laik-laki dan perempuan, berarti diperlukan pemecahan untuk mencapai equilibrium. Gejolak tersebut sebagai akibat dari adanya kesalahan fungsi dalam struktur atau tatanan kehidupan di masyarakat yang harus segera diselasailkan. Adanya gejolak yang menuntut ’kesetaraan jender’ berarti struktur dan fungsi sosial lama yang berlaku di masyarakat perlu diperbaiki karena dianggap tidak sesuai atau terjadi penyimpangan.[18]
Berdasarkan pandangan teori ini, kehidupan masyarakat yang normal harus berfungsi dan berstruktur secara normal sehingga akan melahirkan harmoni dalam kehidupan. Apabila terjadi kesalahan fungsi atau struktur kehidupan di masyarakat yang tidak berjalan dengan normal seperti terjadi penyimpangan yang melanggar norma atau aturan maka akan terjadi gejolak. Pada dasarnya gejolak itu sendiri merupakan cara untuk membentuk fungsi dan struktur baru dalam mencapai keseimbangan.
Pemilihan peran sosial antara laki-laki dan perempuan seperti yang terjadi saat ini merupakan pengaturan yang paling baik dan berguna bagi terwujudnya keseimbangan dan harmoni. Berdasarkan teori fungsionalisme struktural, pembagian peran antara laki-laki dan perempuan apabila mendapatkan harmoni dan dapat menghindarkan gejolak harus dipertahankan. Pemilahan peran sosial antara laki-laki di sektor publik dan perempuan di sektor domestik telah terbukti dapat melahirkan harmoni dalam kehidupan. Sebagai bukti bahwa hubungan patriarkhi telah melahirkan harmoni dalam masyarakat adalah pemilahan peran tersebut masih dipertahankan sampai masyarakat yang bersangkutan memerlukan adanya perubahan yang ditandai dengan adanya gejolak.[19]
Keluarga merupakan bagian penting dalam masyarakat. Untuk melahirkan harmoni dalam masyarakat diperlukan harmoni dalan kehidupan keluarga, yang ditempuh dengan melakukan pembagian tanggung jawab dan peran antara suami dan istri dalam keluarga yang melahirkan rasa tenang pada keduanya.Harmoni dan ketenangan dalam keluarga akan melahirkan harmoni dan ketenangan dalam masyarakat yang lebih luas. Dengan demikian, harmoni dalam masyarakat sebagaimana diasumsikan oleh teori fungsional dapat terjadi sebagai akibat adanya pemilahan peran dalam kehidupan berdasarkan jenis kelamin. Dengan kata lain, pemilahan peran secara seksual memang diperlukan untuk menciptakan harmoni masyarakat.
Berdasarkan teori ini, munculnya tuntutan untuk kesetaraan jender dalam peran-peran sosial di masyaarakat sebagai akibat adanya perubahan struktur nilai sosial ekonomi masyarakat. Pada masyarakat pra-industri, laki-laki berperan sebagai pencari nafkah (pangan, sandang dan papan), dan perempuan berperan sebagai pengurus rumah tangga dan anak-anak. Kondisi ini berbeda dengan masyarakat kapitalis, di jaman industrialissasi yang lebih mementingkan materi, kondisi masyarakat sangat tergantung pada uang. Dalam era globalisasi, peran seseorang tidak lagi mengacu kepada norma-norma kehidupan sosial yang lebih banyak mempertimbangkan faktor jenis kelamin, melainkan ditentukan oleh daya saing dan ketrampilan.[20]
Demikianlah beberapa teori yang sering dipergunakan untuk menjelaskan terjadinya pemilahan peran antara laki-laki dan perempuan. Di antara keempat teori tersebut, hanya tiga teori yang sering digunakan. Teori psikoanalisis kurang dipertimbangkan karena beberapa asumsi dasar teori ini dianggap kurang lazim dan mengandung problem ontologis dan aksiologis. (LATHIFATUL HASANAH)

[1]Kamla Bhasin, Memahami Gender, (Jakarta: Teplok Press, 2002), h. 23
[2]Suryadi & Idris, Kesetaraan Gende, h. 44-45
[3]Suryadi & Idris, Kesetaraan Gender, h. 45
[4]Bandingkan Muthali’in, Bias Gender, h. 24
[5]Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1985), h. 1-14
[6]Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1995), h. 409
[7]Umar, Argumen, h. 134
[8]Suryadi & Idris, Kesetaraan Gender, h. 47
[9]Sanderson, Sosiologi Makro, h. 409
[10]Periksa Budiman, Pembagian Kerja, h. 4
[11]Suryadi & Idris, Kesetaraan Gender, h. 48
[12]Sanderson, Sosiologi Makro, h. 412-16
[13]Suryadi & Idris, Kesetaraan Gender, h. 48-49
[14]Baca lebih lanjut dalam Budiman, Pembagian Kerja, h. 8
[15]Umar, Argumen Kesetaraan, h. 138
[16]Baca lebih lanjut mengenai sistem sosial ini dalam Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995)
[17]Siti Zuhaini Dzuhayatin, “Ideologi Pembebasan Perempuan : Perspektif Feminisme dalam Islam”, dalam Bainar (Ed.), Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan Kemodernan, (Jakarta: CIDES-UII, 1998), h. 14
[18]Suryadi & Idris, Kesetaraan Gender, h. 52
[19]Suryadi & Idris, Kesetaraan Gender, h. 52-53
[20]Umar, Argumen Kesetaraan, h. 77

Minggu, 06 Januari 2008

Curriculum for Life

Selama ini kurikulum diberlakukan sebagai sekat-sekat dalam proses belajar. Sesungguhnya, kurikulum berarti "lintasan". Lintasan bukan sekat, dan juga bukan sesuatu yang "liar". Lintasan adalah jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sasaran tertentu. Masing-masing sasaran punya lintasan sendiri-sendiri. Jika sejumlah orang dengan karakter dan potensi yang bebeda kita giring pada lintasan yang sama, maka mereka akan terjebak pada sasaran yang sama pula. Akhirnya mereka terkonsentrasi pada titik yang sama, sementara titik tersebut akan mengalami kejenuhan. Hal inilah yang terjadi selama ini. Berapa banyak "orang-orang yang terbuang" akibat salah lintasan dari awal. Engku Syafei (pendiri INS Kayutanam Sumatera Barat) mengingatkan kita "jangan meminta buah mangga dari pohon rambutan rawatlah masing-masing sesuai dengan kekhasannya sehinga menghasilkan keragaman rasa, bukankah keragaman itu merupakan kekayaan.Berkaitan dengan hal tersebut, kurikulum sesungguhnya adalah "alat" atau jalan untuk membantu setiap peserta didik agar mampu menemukan jalan hidupnya sendiri se-dini mungkin. Mereka bukan miniatur apalagi diperlakukan sebagai boneka kita-kita orang dewasa. Untuk itu, mari kita bangun kurikulum yang manusiawi (humanis), praktis, dan aplikatif.

Langkah Pengembangan:

1. Need Analysis
Sasaran pokok dalam melakukan need analysis untuk mengetahui secara konkrit hal-hal yang dibutuhkan. Hasil tahapan ini adalah sebuah pemetaan kemampuan secara keseluruhan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa.

2. Pengembangan Visi dan Misi
Agar semua upaya yang dilakukan konsisten dengan yang dicita-citakan maka perlu dikembangan visi dan misi sebagai koridor dalam mengimplementasikan kurikulum.
3. Pengembangan Kompetensi Dasar (Basic Competencies)Tahap ini kelanjutan dari need analysis. Kompetensi dasar merupakan acuan dalam pengembangan kemampuan peserta didik. Kompetensi dasar tersebut berkembang secara kontinum dan tidak terbatas oleh ruang an waktu. Penataan kompetensi dasar ini dalam rangka mempromosikan (to promote) setiap siswa sesuai dengan rahan potensi, minat, dan kemampuan mereka. Karena sifatnya yang kontinum, maka rumusan kompetensi dasar harus dalam bentuk rentangan (range).

3. Desain Skenario Pembelajaran dan Iklim Pembelajaran yang Nyata (Real)
Tahapan ini merupakan proses perancangan aplikasi dari kompetensi dasar. Proses ini didasari oleh pemikiran bahwa pembelajaran adalah penjabaran kompetensi dasar sesuai dengan tahapan atau langkah-langkah pencapaiannya. Dalam proses ini, perlu ada kriteria ketercapaian yang terukur dan dapat diobservasi perkemangannya. Kriteria tersebut perlu dijelaskan kepada semua peserta didik sebelum proses belajar-mengajar berlangsung. Ini akan menjadi “kontrak sosial” antara penyelenggara pendidikan dengan peserta didik dan orang tua. Semua aktifitas yang dirancang dalam pembelajaran harus konsisten dengan filosofi, visi, misi, dan kompetensi dasar yang menjadi acuan. Proses belajar adalah proses memahami, mengolah, memanfaatkan dan menjaga keslestarian alam semesta, termasuk aspek kehidupan sosial. Untuk itu, iklim pembelajaran haruslah menjadi refleksi dari kehidupan nyata, dengan demikian yang menjadi sumber dan sarana belajar utama adalah lingkungan sekitar.

4. Tahap Implementasi
Tahap ini dimulai dengan menciptakan semua perangkat yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran. Perangkat tersebut mulai dari perencanaan, pelaksanaan proses belajar mengajar sampai pada penilaian. Semua perangkat dikembangkan sesuai dengan dasar filosofi, visi, misi, dan model pembejaran yang dikemukakan di atas. Perangkat dikembangkan untuk mempermudah proses pencapaian sasaran. melalui perangkat yang praktis, siswa menjadi mudah belajar dan gurupun akan terbantu dalam mengelola proses pembelajaran secara efisien dan efektif.

5. Tahap Evaluasi Dan Penyempurnaan Lebih Lanjut
Pada dasarnya evaluasi dilakukan di sepanjang tahapan proses, mulai dari evaluasi perencanaan dan pelaksanaan sampai pada akhir suatu proses. Evaluasi membutuhkan alat-alat yang valid dan reliabel sehingga hasilnya dapat dijadikan sebagai langkah awal perbaikan semua proses.(Zulfikri Anas)